Sudah bukan rahasia lagi kalau pemerintah dan Muhammadiyah tidak
selalu sama mengawali 1 Ramadhan atau pun 1 Syawal. Namun kali ini
Muhammdiyah yakin 1 Ramadhan 1436 Hijriah tidak akan jauh berbeda dengan
penetapan pemerintah, kendati Kementerian Agama belum mengumumkannya
secara resmi.
Keyakinan itu disampaikan Ketua PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas.
"Antara
hisab dan rukyat, tidak ada perbedaan. Jadi menteri agama tidak berat
tugasnya tahun ini," kata Yunahar saat mengisi Tabligh Akbar Muktamar
Muhammadiyah ke-47 di Masjid Al-Isro, Tanjung Duren Jakarta, Selasa, 2
Juni 2015.
Yunahar menjelaskan, pada tanggal 29 Sya'ban atau
Selasa, 16 Juni 2015 Masehi, ijtima baru terjadi pada pukul 21.00 malam.
Sementara, syarat yang ditentukan oleh Muhammadiyah adalah sebelum
maghrib.
"Sehingga Kamis 17 Juni masih bulan Sya'ban, disempurnakan jadi 30 hari," kata dia.
Perhitungan ini, kata Yunahar, akan sama dengan pemerintah. Walau,
nantinya akan ada sidang isbat dan pemerintah melakukan rukyat.
"Pemerintah tetap pergi rukyat, tapi Insya Allah tidak akan terlihat," katanya.
Yunahar menilai, cara Muhammadiyah dengan menggunakan metode
penghitungan hisab, sudah tepat di tengah-tengah modernitas dunia saat
ini.
"Saya katakan demi persatuan mari kita pake hisab," katanya.
Karena, semua harus direncanakan untuk satu tahun, bahkan beberapa tahun ke depannya.
"Sehingga
yang paling cocok dengan dunia modern adalah hisab, karena sudah
menghitung jauh ke depan. Jangankan 1 tahun, 5, 10 tahun juga bisa.
Sehingga kita bisa membuat perencanaan kapan Idul Fitri, Idul Adha,"
jelas dia.
Selama lima tahun ini, kata Yunahar, akan banyak kesamaan antara Muhammadiyah dengan pemerintah, dalam menentukan awal puasa.
"Terjadi
lima tahun berturut-turut. Sehingga lima tahun ini menteri agama tidak
perlu repot-repot. Kalau bisa menteri agama bilang sudah berhasil
mempersatukan umat Islam, enggak apa-apa," ujarnya.
Cara Pandang yang Sama
Menteri
Agama Lukman Hakim Saifuddin sendiri sebelumnya mengatakan tak akan ada
lagi perbedaan pendapat dalam penentuan awal Ramadhan maupun Lebaran
atau Idul Fitri mulai tahun ini.
Sebab, kata dia, dua organisasi
massa terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah
satu suara dalam penetapan tanggal awal pelaksanaan puasa Ramadhan.
Lanjut
Lukman, NU dan Muhammadiyah telah bersepakat menyamakan metode dan
kriteria untuk menetapkan kalender hijriah nasional. Pada pokoknya,
semua berkomitmen agar tak ada lagi perbedaan pendapat dalam penentuan
Ramadan dan Lebaran.
"Semua sudah memiliki kesamaan niat agar ini bisa pada kriteria yang sama pada cara pandang pemahaman yang sama,” kata Menteri.
Selama
ini Muhammadiyah memang kerap berbeda menetapkan 1 Ramadhan dan 1
Syawal. Sedangkan Pemerintah kerap satu pandangan dengan NU.
"Kita
kemarin diskusi dengan muzakarah dengan Muhammadiyah, alhamdulillah
semua pimpinan Muhammadiyah hadir, ada kesamaan tujuan cara pandang,”
ujar Menteri.
Berbeda dengan tahun 2014 atau 1435 Hijriah,
terjadi perbedaan untuk awal puasa. Jika Muhammadiyah menetapkab 28 Juni
2014, NU baru besoknya 29 Juni melaksanakan awal puasa.
Pemerintah
pun mengakui perhitungan hisaban penentuan awal Ramadhan yang dilakukan
oleh NU. Namun saat itu, pemerintah tak mempermasalahkan soal perbedaan
dengan Muhammadiyah.
Pimpinan Muhammadiyah, Din Syamsudin pun
menyambut baik sikap pemerintah. Din menghargai kebijakan pemerintah
yang tidak memaksa umat Islam mematuhi keputusan awal puasa.
“Kami
memberikan penghargaan pada Menteri Agama yang mengedepankan pendekatan
ukhuwah Islamiyah dalam membahas perbedaan,” kata Din.
Menurut
Din, awal Ramadhan adalah persoalan keyakinan beribadah. Oleh karena itu
sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menghormati perbedaan.
“Itu
amanat konstitusi yang memberikan kemerdekaan kepada warganya untuk
menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing," ujar Din.
Sekadar
informasi, perbedaan penentuan awal Ramadhan atau pun Lebaran terjadi
karena ketidaksamaan metode dan kriteria. NU menggunakan dua metode,
yakni hisab (perhitungan matematis dan astronomis) dan rukyat
(pengamatan pada bulan sabit atau hilal). Sedangkan Muhammadiyah
menerapkan pada metode hisab saja.
Bagi NU, usia bulan telah
dipastikan berdasarkan metode hisab. Tetapi, sesuai perintah Hadist,
perhitungan berdasarkan hisab harus dibuktikan secara empirik, yakni
melihat langsung penampakan Bulan. Soalnya Bulan bisa saja tak tampak
karena terhalang, misalnya, awan.
Muhammadiyah meyakini bahwa
sesuai Hadist pula, awal Ramadhan atau pun Lebaran cukup ditentukan
berdasarkan Hisab, tak perlu rukyat. Karena itu, Muhammadiyah selalu
lebih awal memastikan memulai dan mengakhiri berpuasa.
Selain
perbedaan penggunaan metode itu, ada pula perbedaan kriteria dalam
imkanur rukyat atau mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal.
Imkanur rukyat dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyat dan metode
hisab.
Ada yang menetapkan tingkat ketinggian hilal untuk dapat
diamati pada ketinggian kurang 0 derajat, lebih dari 2 derajat, dan 0
sampai 2 derajat. Ada juga yang berpendapat bahwa pada ketinggian
kurang dari 2 derajat, hilal tidak mungkin dapat dilihat sehingga
dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi ini.
sumber: viva.co.id